Sabtu, 12 Maret 2011

BOLEHKAH ANAK DIPUKUL?

SUATU hari saya berbincang dengan seorang ibu rumah tangga yang juga juga seorang mubalighot/ustadzah. Setelah bicara ngalor ngidul, akhirnya tiba pada pertanyaan bolehkah anak dipukul?

Seorang teman saya mengatakan, “Bisa dilaporkan dan kena UU kekerasan terhadap anak.”
Teman saya yang ibu rumah tangga dan juga mubalighot dia berkata, “Gak iso (tidak bisa). Masak ibu memukul pantat anak dengan maksud mendidik dikenai pasal kekerasan. Jangan memaknai terlalu telanjang,” cetusnya.

beberapa tahun yang lalu, saya diwajibkan hadir di sebuah seminar sebagai perwakilan.Tema seminar itu tentang "pengaruh pola asuh pada anak" Pembicaranya Gloria Adhitya, psikolog, dosen UI, dan juga menangani konseling dibeberapa sekolah swasta.
Pada sesi tanya jawab, seorang ibu bertanya, “bolehkah anak dipukul?”
Sebelum menjawab, Gloria menjelaskan bahwa arti pukulan tidak hanya dilakukan pada fisik, tapi juga bisa lewat kata-kata. Keduanya sama berbahaya.
Kemudian dia memberi contoh kasus saat dia melakukan konseling pada siswa (putra) sebuah SMA swasta. Beberapa kali konseling, Gloria harus aktif bertanya dan menerima jawaban seadanya. Tapi akhirnya suasana menjadi cair. Sampai suatu hari anak itu sebut saja A (Gloria G) menceritakan isi hatinya dengan penuh emosi.

Gloria berkisah, saat itu saya bertanya:
G: Apa cita-citamu?
A: Kuliah di jurusan yang bisa cepat dapat uang
G: Buat apa uangnya?
A: Buat membuat sesuatu yang bisa dilihat ayah dan membuat ayah menyesal karena pernah melakukan hal-hal seperti itu pada saya. Setelah itu, saya akan pergi meninggalkan ayah saya.
G: Memangnya apa yang ayahmu buat?
A: Hampir setiap menjemput sekolah (ayah dan ibunya sudah bercerai) ayah selalu memaki-maki. Saya bosan dan sakit hati.
G: Apa yang ayahmu katakan?
A: Kamu goblok seperti ibumu. Dasar keturunan goblok!

Sang ayah, papar Gloria, dalam emosinya lupa kalau anak dibuat oleh dua orang, jadi keturunan dua orang itu juga. “Tapi inti yang ingin saya katakan, terkadang pukulan dengan kata-kata dampaknya jauh lebih hebat dari hukuman fisik yang dilakukan dengan kasih sayang.”

Jadi bolehkan anak dipukul (tentu dalam artian fisik?) Jawab Gloria, Boleh!

Wah sebenarnya saya agak terkejut dan merasa agak dibela karena beberapa hari lalu, saya terpaksa menjewer dan memukul anak didik saya, dan kemudian menyesal berhari-hari dan sepanjang hari itu "bad mood" Saya juga agak terkejut, karena beberapa psikolog yang pernah berbicara dalam seminar atau perbincangan langsung, hampir semuanya mengatakan “Tidak boleh.”

Lalu, kenapa Gloria mengatakan demikian?
Begini kelanjutannya:
“Boleh, tapi harus dengan berbagai persyaratan dan kondisi tertentu. Misalnya anak bebal, sudah beberapakali diberitahu tetapi tetap melakukan dan dilakukan dengan sengaja. Jika demikian, anak boleh dipukul. Hanya saja, jangan sembarang memukul, karena Tuhan sudah memberikan dua bantalan empuk (pantat maksudnya) untuk memberi didikan pada anak kita,” jelasnya.

Gloria tidak menyarankan memukul menggunakan tangan. Karena, menurut dia, tangan menyalurkan langsung emosi orang tua pada anak. Saat memukul, orang tua sebaiknya menggunakan perantara seperti penggaris, bekas kemoceng atau apapun yang tidak terlalu menyakitkan tapi bisa memberi didikan.
Alat perantara itu, katanya, sebaiknya hanya satu dan harus diletakkan jauh dari jangkauan orang tua itu sendiri. Apa maksudnya? Supaya orang tua juga terus diingatkan bahwa memukul hanya bisa dilakukan bila memang sudah benar-benar harus dilakukan. Juga memberi dampak psikologis pada anak bahwa betapa sakit dan terpaksanya orang tua melakukan hal itu.

Lalu, seberapa keras orang tua boleh memukul? Gloria menyebutkan, sedang-sedang saja. Dalam arti, jangan sampai karena tidak tega, maka pukulan hanya pura-pura, hingga anak akhirnya menganggap sebagai angin lalu. Tapi juga tidak boleh terlalu keras, karena itu akan membawa dampak yang berbeda lagi.
“Sedang-sedang saja. Saya tahu bagaimana rasanya sakit dan tidak teganya hati kita saat harus memukul anak. Tapi lakukanlah dengan pukulan yang sedang, tidak terlalu pelan dan tidak boleh keras. Yang penting di sini, anak merasakan keseriusan.”

Dia kemudian memberi contoh apa yang dia terapkan pada anaknya semasa kecil (sekarang sudah kuliah di luar negeri). “Saya memiliki alat perantara berupa batang kemoceng yang sudah saya bersihkan dan saya tempel kertas bertuliskan nama anak saya. Baru-baru ini saya pindah rumah dan menemukan kemoceng tersebut. Saat saya berbincang lewat webcam dengan anak saya, saya tunjukkan benda itu dan saya bertanya, “masih ingat ini?”

Anak saya, tutur Gloria, menjawab, “Ingat. Itu tongkat disiplin saya. Karena itu pula saya bisa mencapai seperti sekarang. Karena tongkat itu pula, saya bisa memiliki disiplin dan kepribadian seperti sekarang. Terimakasih mama.”

Itu kira-kira hasil seminar yang saya ikuti beberapa tahun yang lalu. Saya menceritakan tidak dengan maksud apa pun. Saya hanya ingin berbagi apa yang sudah saya peroleh. Hanya itu.untuk kebaikan generasi penerus kita...!bayu_net09@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar